SALAMAKKI

SALAMAKKI

BERANDA

Kamis, 07 April 2011

sejarah suku bugis

cover book
cover book


Apa karakteristik yang melekat padanya sehingga berbeza dengan kelompok manusia lainnya, seperti manusia Jawa, Bali, Melayu, dan lain-lain? Dan bagaimana karekter kebugisan itu terbentuk, bertahan, dan berubah mengikuti perubahan zaman? Jawapan atas pertanyaan-pertanyaan itulah yang dituangkan oleh Christian Pelras, antropologis berbangsa Prancis, dalam bukunya, Manusia Bugis.
Spektrum pemaparannya amat luas dan komprehensif; bak sebuah repertoar dalam adegan sandiwara Hamlet. Memuatkan tentang asal-usul, kondisi geografi dan ekologi, sistem teknologi, organisasi sosial dan sistem perkawinan, seni sastra, agama, ekonomi, politik, dan watak manusia Bugis menurut urutan waktu. Mulai dari milenium pertama tarikh Masehi hingga sekarang. Penyajian seperti itu dimungkinkan karena Pelras melakukan penelusuran dokumen yang amat teliti dan penelitian lapangan yang intensif. Kajiannya berlangsung selama 40 tahun (1950?1990). Hasil penemuannya mencengangkan. Sebab-, jejak-jejak masa silam orang Bugis yang masih samar-samar dan yang belum terisi dalam peta pengetahuan bagi umumnya orang Bugis, termasuk pemerhati dan ilmuwan sosial, dipaparkan secara amat meyakinkan-.

rumah adat bugis
rumah adat bugis
Meskipun asas penelitiannya, kitab La Galigo, diragukan kesahihannya dan bahkan ditentang oleh sejumlah peneliti- mengenai Sulawesi Selatan lainnya, seperti Andaya, Caldwell, dan Koolhof, argumentasinya logik dan disertai dengan bukti arkeologis. Lebih dari itu, ia menepis keyakinan masyarakat umum dan ilmiah, bahwa moyang orang Bugis adalah pelaut ulung. Bagi Pelras, mereka petani dan pedagang. Aktiviti kemaritiman baru ditekuni orang Bugis pada abad ke-18. Anggapan mengenai nenek- moyang- orang Bugis sebagai pelaut ulung bersumber dari banyaknya perahu Bugis pada abad ke-19 yang berlabuh di berbagai wilayah Nusantara, Papua, Singapura, bahagian selatan Filipina, dan pantai barat laut Australia. Lagi pun, perahu phinisi yang terkenal dan dianggap telah berusia ratusan tahun, bentuk, dan model akhirnya baru ditemukan antara penghujung abad ke-19 hingga 1930-an (hlm. 3?4). Hal lain yang diungkap oleh Pelras adalah bahwa orang Bugis sejak 1800-an telah menembus ruang yang masih- dibatasi oleh jarak. James Brook, pengelana berkulit putih yang berkunjung ke Wajo pada 1840, ditanya tentang situasi politik di Turki dan nasib Napoleon (Pelras, Tapak-tapak Waktu-, 2002: 45).
Selain itu, orang Bugis mampu mendirikan kerajaan yang tidak mengandung pengaruh India dan tidak mendirikan kota sebagai pusat aktiviti mereka. Perpaduan antara karya sastra tertulis dan tradisi lisan melahirkan La Galigo yang justru lebih panjang dari Mahabarata.
Sungguhpun demikian, karya Pelras tidak luput dari kelemahan, terutama menyangkut karakter orang Bugis di lapis waktu kini. Mengikut Pelras bahwa pola interaksi sehari-hari warga masyarakat Bugis dilandasi oleh sistem patron-klien nampaknya sudah sangat- langka. (berbeza) Itu tampak nyata dalam kehidupan petani dan nelayan, dengan hubungan antara ponggawa (pemilik sarana produksi) dan sawi (buruh yang mengoperasikan peralatan produksi) yang cenderung eksploitatif. Dalam sistem bagi hasil, sawi mendapatkan bahagian yang sangat kecil, sehingga kondisi ekonominya selalu berada di ambang kelaparan. Kalaupun ponggawa sangat mudah- memberikan pinjaman berupa pangan dan uang kepada sawi-nya, itu lebih sebagai strategi ponggawa agar sawi-nya senantiasa dalam genggamannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas kunjungan dan komentarnya... anda puas saya lemas......

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...