SALAMAKKI

SALAMAKKI

BERANDA

Tampilkan postingan dengan label tokoh. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label tokoh. Tampilkan semua postingan

Jumat, 22 Juli 2011

Raja-Raja Malaysia yang Berdarah Bugis

Dari sembilan raja yang memerintah di Malaysia, ternyata pada umumnya merupakan keturunan Raja Bugis dari Kerajaaan Luwu, Sulawesi Selatan.

Hal itu terungkap pada Seminar Penelusuran Kerabat Raja Bugis, Sulsel dengan raja-raja Johor-Riau-Selangor, Malaysia di Makassar, Rabu.

"Berdasarkan hasil penelusuran silsilah keturunan dan tinjauan arkeologi diketahui, 14 provinsi di Malaysia, sembilan diantaranya diperintah oleh raja yang bergelar datuk (dato`) atau sultan, sedang empat provinsi lainnya diperintah gubernur yang bukan raja," kata Prof Emeritus Dato` Dr Moh Yusoff bin Haji Hasyim, President Kolej Teknologi Islam Antarbangsa Melaka.

Menurut dia, dari segi silsilah, kesembilan raja yang memiliki hak otoritas dalam mengatur pemerintahannya itu, berasal dari komunitas Melayu-Bugis, Melayu-Johor dan Melayu-Minangkabau.

Sebagai contoh, lanjutnya, pemangku Kerajaan Selangor saat ini adalah turunan dari Kerjaan Luwu, Sulsel.

Merujuk Lontar versi Luwu` di museum Batara Guru di Palopo dan kitab Negarakerjagama, menyebutkan tradisi `raja-raja Luwu` ada sejak abad ke-9 masehi dan seluruh masa pemerintahan kerajaan Luwu terdapat 38 raja.

Raja yang ke-26 dan ke-28 adalah Wetenrileleang berputrakan La Maddusila Karaeng Tanete, yang kemudian berputrikan Opu Wetenriborong Daeng Rilekke` yang kemudian bersuamikan Opu Daeng Kemboja.

"Dari hasil perkawinannya itu lahir lima orang putra, masing-masing Opu Daeng Parani, Opu Daeng Marewah, Opu Daeng Cella`, Opu Daeng Manambong dan Opu Daeng Kamase," paparnya sembari menambahkan, putra-putra inilah yang kemudian merantau ke Selangor dan menjadi cikal bakal keturunan raja-raja di Malaysia hingga saat ini.

Lebih jauh dijelaskan, dengan penelusuran sejarah dan silsilah keluarga itu, diharapkan dapat lebih mendekatakan hubungan antara kedua rumpun Melayu yakni Melayu Selangor dan Bugis.

Menurut Moh Jusoff, dari segi kedekatan emosional, silsilah dan genesitas komunitas di Malaysia dan Indonesia tidak bisa dipisahkan. Hanya saja, belum bisa merambah ke persoalan politik karena ranah politik Malaysia berbeda dengan politik Indonesia termasuk mengenai tata pemerintahan dan kemasyarakatannya.

Sementara itu, Andi Ima Kesuma,M.Hum, pakar kebudayaan dari Universitas Hasanuddin (Unhas) yang juga Kepala Museum Kota Makassar mengatakan, kekerabatan keturunan raja-raja di Malaysia dan raja-raja Bugis di Sulsel tertuang dalam Sure` Lagaligo maupun dalam literatur klasik lainnya.

"Hanya saja, gelaran yang dipakai di tanah Bugis tidak lagi digunakan di lokasi perantauan (Malaysia) karena sudah berasimilasi dengan situasi dan kondisi di lokasi yang baru," katanya.

Gelar Opu dang Karaeng yang lazim digunakan bagi keturunan raja rai Luwu dan Makassar tidak lagi dipakai di Malaysia melainkan sudah bergelar tengku, sultan atau dato`
»»  LANJUT BOS......

Sabtu, 09 April 2011

Sejarah Usman Balo


Usman Balo (1991)
Usman Balo adalah salah seorang tokoh pejuang kemerdekaan di Sulawesi Selatan. Selain karena keberaniannya dalam melawan penjajah, Usman Balo juga terkenal karena memiliki 108 orang isteri, meskipun demikian, Usman Balo punya prinsip yang patut diteladani, beliau sangat pantang bercinta atau menggauli wanita jika belum ia nikahi.
Pada jamannya, Usman Balo sangat disegani dan ditakuti baik oleh sesama pejuang ataupun oleh kompeni Belanda. Saat itu banyak desa yang diobrak-abrik oleh penjajah, namun desa-desa dimana terdapat keluarga korban tidak pernah disinggahi oleh penjajah. Dengan alasan tersebut almarhum mulai menikahi gadis-gadis hampir di setiap desa. Usman Balo meninggalkan 26 orang anak, dan lebih 100 orang cucu serta puluhan orang cicit.
Pejuang kharismatik ini dikenal berani, teguh dan penuh dedikasi serta pantang menyerah dan menyandang pangkat terakhir Kapten TNI AD. Pria berjuluk ‘Balo’na Sidenreng’ ini menyandang sejumlah piagam tanda jasa. Almarhum adalah rekan seperjuangan tokoh Sulsel lainnya Brigjen TNI (Purn) Andi Sose, dan mantan Gubernur Sulsel Brigjen TNI (Purn) Andi Oddang.
Usman Balo pernah memperjuangkan terbentuknya Republik Persatuan Indonesia, terdiri dari beberapa negara bagian. Tapi, lantaran Bung Karno lebih menghendaki negara kesatuan,akhirnya perjuangan Usman Balo menghadapi rintangan. Itulah yang membuatnya bergerilya bertahun-tahun di hutan, bersama Kolonel Abdul Kahar Muzakkar dan membentuk kelompok perjuangan Tentara Islam Indonesia atau yang sekarang dikenal dengan Pemberontakan DI/TII. Pembagian wilayah kekuasaan antara kesatuan-kesatuan DI/TII Sulawesi Selatan, ternyata menimbulkan pertentangan intern. Seringkali, akibat operasi yang dilancarkan TNI, pasukan yang satu memasuki wilayah kekuasaan pasukan yang lain. Bulan Desember 1952, Batalyon Latimojong pimpinan Usman Balo memasuki wilayah Batalyon Rante Mario. Antara kedua pasukan itu terjadi bentrokan fisik. Kahar Muzakkar menyalahkan Usman Balo. Akibatnya hubungan antara kedua tokoh pemberontak itu mulai retak. Dalam perkembangan kemudian Usman Balo memutuskan sama sekali hubungannya dengan Kahar, walaupun ia tetap melanjutkan pemberontakannya. Kemudian pertentangan itu meningkat menjadi pertentangan ideologis. Usman Balo menolak jalan Darul Islam yang dianut Kahar, dan tidak bersedia mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam seperti yang dilakukan Kahar sejak bulan Agustus 1953. Pertentangan antara keduanya mencapai puncaknya dalam bentuk pertempuran terbuka di Bulu Cenrana (Sidenreng Rappang). Pertempuran terjadi tanggal 14 Desember 1954 dan berlangsung selama tiga hari.
Usman Balo wafat pada tanggal 5 Mei 2006 di usia 88 tahun karena sakit asma di Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Mario Rappang, Sidrap.
»»  LANJUT BOS......

lasinrang

Lasinrang merupakan salah satu pejuang bugis asal pinrang yang memimpin para pemuda di tanah addatuang (kerajaan) Sawitto melawan penjajah Belanda. Lasinrang lahir di Desa Dolangan, Pinrang pada tahun 1856 dan wafat di tahun 1936. Dalam lembaran sejarah, Lasinrang adalah salah seorang pejuang yang tak bisa dikalahkan Belanda selama masa penjajahan. Taktik keji Belanda-lah yang menahan ayahnya, Addatuang Sawitto, dan istrinya, I Makkanyuma, membuat Lasinrang menyerah.
Warga Pinrang mengabadikan nama Lasinrang di setiap sudut kota sebagai nama jalan, gedung olahraga, rumah sakit dan lain-lain. Bahkan patung Lasinrang berbulu emas berdiri tegak di pusat Kota Pinrang yang berjarak sekitar 185 kilometer dari Kota Makassar.
Kisah Hidup Lasinrang
Sekitar tahun 1856, keluarga raja dan pembesar kerajaan Sawitto, diliputi suasana bahagia atas lahirnya putra La Tamma yaitu Lasinrang. Kemudian dikenal dengan nama Petta Lolo Lasinrang. Putra La Tamma Addatuang Sawitto ini, dilahirkan di Dolangeng sebuah kota kecil yang terletak kira-kira 17 km sebelah selatan kota Pinrang. Karena ibunya bernama I Raima (Keturunan rakyat biasa) berasal dari Dolangeng. Sejak lahirnya La Sinrang memang memiliki keistimewaan dimana dadanya ditumbuhi buluh dengan arah berlawanan yaitu arah keatas ke atas (bulu sussang).
Dalam perjalanan hidupnya, La Sinrang banyak mendapat bimbingan dan pendidikan dari pamannya (saudara I Raima), yaitu orang yang mempunyai pengaruh dan disegani serta dikenal sebagai ahli piker kerajaan. Sehingga, Lasinrang menjadi seorang pemuda yang cukup berwibawa dan jujur. Hal ini merupakan suatu ciri bahwa putra Adatuang sawitto ini, adalah seorang calon pemimpin yang baik.
Diwaktu kecil Lasinrang gemar permaianan rakyat seperti dalam bahasa bugis mallogo, maggasing, massaung dan lain-lain. Namun, kegemaran utamanya yang berlanjut sampai usia menanjak dewasa yaitu “Massaung“ (menyabung ayam). Dari kegemaran ini, Lasinrang selalu menggunakan “Manu’ bakka“ (ayam yang bulunya berwarna putih berbintik-bintik merah pada bagian dada melingkar kebelakang), ayam jenis ini jarang dimiliki orang.
Kegemaran menyabung ayam dengan “manu bakka“ tersiar keluar daerah, sehingga Lasinrang dikenal dengan julukan “Bakka Lolona Sawitto“ juga dapat diartikan “Pemuda berani dari Sawitto” . Julukan ini semakin popular disaat La Sinrang mengadakan perlawanan terhadap belanda.Juga kegemaran La Sinrang di usia remaja/dewasa adalah permainan “Pajjoge” yaitu tari-tarian dari asal Bone, sehingga ketika Pajjoge dari Pammana (Wajo) mengadakan pertunjukan di Sawitto maka La Sinrang semakin tertarik dengan Permainan tersebut.
Lasinrang ke Pammana, dimana setelah tinggal di Pammana dia memperlihatkan gerak-gerik yang menarik perhatian orang banyak, utamanya Datu Pammana sendiri. Datu Pammana La Gabambong (La Tanrisampe) juga merangkap Pilla Wajo tertarik untuk menanyakan asal-usul keturunannya.La Sinrang pun dididik dan diterima Datu Pammana menjadi pemberani, terutama dalam hal menghadapi peperangan. Setelah itu, La Sinrang kembali ke daerah asalnya yaitu Sawitto, saat itu La Sinrang mempunyai dua orang putra yakni La Koro dan La Mappanganro dari hasil perkawinan dengan Indo Jamarro dan Indo Intang.
Tiba di Sawitto diajaknya kerajaan Suppa, Alitta, binanga Karaeng, Ruba’E, Madallo, Cempa, JampuE, dll kerajaan kecil disekitar Sawitto untuk berperang, dan apabila kerajaan tersebut tidak bersedia, berarti bahwa kerajaan itu berada dibawah kekuasaan Sawitto. Dengan demikian, dalam waktu singkat terkenallah La Sinrang keseluruh pelosok, baik keberanian, kewibaan, maupun kepemimpinannya.
Lasinrang selama berada di Sawitto semakin nakal, akhirnya diasingkan ke Bone, baru setahun di Bone, terpaksa menyingkir ke Wajo karena membunuh salah seorang pegawai istana di Bone yaitu Pakkalawing Epu’na Arungpone.
Selama di Wajo ia mendapat didikan dari La Jalanti Putra Arung Matawo Wajo yaitu La Koro Arung Padali yang bergelar Batara Wajo. La Janlanti diangkat menjadi komandan Pasukan Wajo di Tempe dengan pangkat Jenderal.
Setelah serangan Belanda terhadap kerajaan sawitto semakin hebat, maka La Sinrang dipanggil pulang oleh ayahnya, dan diangkat menjadi panglima perang. Dalam kepemimpinannya sebagai panglima perang kerjaan Sawitto, senjata yang dipergunakan adalah tombak dan keris. Tombak bentuknya besar menyerupai dayung diberi nama “La Salaga‘ sedang kerisnya diberi nama “JalloE”
Dengan akal bulus Belanda, Lasinrang menyerahkan diri karena ayah dan istrinya ditangkap dan diancam akan disiksa.  Lasinrang menjalani masa pengasingan di Banyumas dan dipulangkan dalam keadaan sakit dan lanjut usia, Lasinrang akhirnya wafat pada tanggal 29 Oktober 1938 dan dimakamkan di Amassangeng.
»»  LANJUT BOS......

Kamis, 07 April 2011

kisah raja bone



Raja Bone
Raja Bone

BoneLazimnya, raja sebagai pemimpin kerajaan dalam struktur kebudayaan nusantara adalah perwujudan strata tertinggi dan paripurna. Karenanya titahnya wajib diikuti oleh rakyat bawahannya. Namun dalam kronik kerajaan Bone, terdapat dua Raja Bone (Arumpone) yang ditentang oleh rakyatnya. Berikut rangkuman sejarah La Tenrirua dan La Maddaremeng oleh citizen reporter Muhammad Ruslailang Noertika(p!)
Sebagaimana yang banyak disaksikan dalam beberapa kronik sejarah umumnya, penaklukan atas suatu daerah berdaulat bukan saja mengangkangi sumber-sumber ekonomi daerah tersebut, tetapi juga menusuk ke dalam sendi terdalam kehidupan rakyatnya; kehidupan spiritual. Peperangan yang terjadi di muka bumi ini, bahkan hingga jaman modern sekarang, selain bermotif ekonomi juga dibonceng oleh motif politik-religius yang pengaruhnya jauh lebih lama dan permanen dibanding penguasaan geografis belaka.

Pada awal abad 15, Raja Tallo I Malingkaan Daeng Manyonri bergelar Sultan Awaluddin memeluk agama Islam, disusul oleh Raja Gowa I Mangngarangi Daeng Manrabia bergelar Sultan Alauddin. Proklamasi pengakuan agama Islam sebagai agama resmi kerajaan serta merta membuat konstelasi politik kerajaan-kerajaan di semenanjung selatan Sulawesi berangsur dinamis.
Agama baru ini ditengarai justru menjadi momentum kembalinya perseteruan klasik antara pucuk-pucuk kekuasaan di kawasan ini. Setelah hampir 20 tahun perseteruan antara Gowa dan Bone memasuki masa jeda (1590 – 1607) yang justru dipicu bukan karena perdamaian tetapi karena konflik internal masing-masing kerajaan, maka diresmikannya agama Islam menjadi agama kerajaan Gowa merekatkan kembali anasir-anasir yang terpecah sebelumnya.
Setelah rekonsiliasi internal tercapai dan sistem politik kerajaan Gowa kembali berpusat di tangan dua raja kembar tersebut, maka langkah selanjutnya adalah mengembalikan khittah dominasi Gowa atas semenanjung selatan Sulawesi. Kali ini motif dominasi adalah motif spiritual; penyebaran agama Islam yang diyakini oleh Sultan Alauddin sebagai jalan yang harus ditempuh untuk mendapatkan kebaikan.
Sudah mahfum dalam perjanjian masa sebelumnya di antara kerajaan-kerajaan di semenanjung selatan Sulawesi, bahwa sesiapa yang menemukan jalan kebenaran (laleng adecengeng), maka wajib baginya untuk menyampaikan kepada yang lain. Dalam rangka melaksanakan perjanjian inilah, Raja Gowa-Tallo bermaksud untuk menyebarkan secara militer dan politis, jalan baru yang mereka klaim sebagai jalan kebenaran; Islam, kepada kerajaan-kerajaan lainnya.
Islam yang dianut oleh Gowa-Tallo, menurut beberapa kronik sejarah sesungguhnya adalah Islam yang beraliran mistik sufiisme, yang lebih menekankan aspek spiritual (tarekat) dibanding ritual (syariat). Aliran itu bisa cepat diterima karena memiliki banyak kesamaan dengan struktur kepercayaan pra-Islam. Karenanya sampai zaman modern beberapa perilaku adat Bugis Makassar yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam masih bisa ditemui semisal; sabung ayam, minum arak (ballo’), dan tradisi klenik yang dipelihara semisal Bissu’ dan arajangeng nya.
Meskipun ajaran Islam yang diserukan sebenarnya masih mengakomodir adat istiadat Bugis, namun maksud penyebaran agama Islam ini tidak serta merta dipahami oleh kerajaan-kerajaan Bugis sebagai sebuah jalan yang mengajak kepada kebaikan, tapi terlebih sebagai upaya perluasan kekuasaan Gowa-Tallo sebagaimana pernah dikerahkan oleh raja-raja pendahulu mereka. Meskipun sudah banyak rakyatnya yang memeluk agama Islam, terlebih karena peran vital tiga ulama asal Minangkabau yang diutus oleh Sultan Johor; Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, Datuk Patimang, namun faktor kesejajaran politik yang timpang membuat raja-raja Bugis tidak begitu saja menerima ajakan ini dan lebih memilih perlawanan militer ketimbang tunduk secara politis.
Melalui rangkaian peperangan yang dikenal sebagai perang Islam (musu’ assellengnge) terjadi dalam empat tahun (1607-1611) berturut-turut kerajaan-kerajaan Bugis jatuh dalam kekuasaan Gowa-Tallo; Suppa (1607), Sidenreng (1608), Soppeng (1609), Wajo (1610) dan terakhir Bone (1611).
La Tenrirua Matinroe ri Bantaeng (berkuasa 1607-1608)
Yang menarik justru ketika mengamati kondisi internal kerajaan Bone sebelum penaklukan. Berbeda dengan rakyat Wajo yang lebih memihak kerajaan Gowa-Tallo karena alasan ‘ajakan’ kebaikan yang dibawa oleh Gowa-Tallo layak diikuti – namun Arung Wajo menampiknya, situasi kerajaan Bone justru sebaliknya. Penguasa Bone kala itu, Arumpone La Tenrirua (Arung Bone biasanya dituliskan mengikuti pelafazannya : Arumpone) menerima dengan baik ajakan Gowa untuk memeluk Islam dan menyerukan bangsawan dan rakyatnya untuk ikut bersamanya sebagai bentuk kepatuhan akan perjanjian purba yang ia yakini sebelumnya.
Seruan ini juga kemungkinan bermuatan politis sebagai upaya La Tenrirua melindungi rakyat Bone dari nasib lebih buruk sekiranya jalan militer ditempuh dan kemudian dijadikan kerajaan bawahan sebagaimana lazimnya negara taklukan. Apalagi saat itu kekuatan militer kerajaan Gowa-Tallo sedang pada masa keemasannya sehingga perimbangan kekuatan Bone menjadi inferior terhadap Gowa-Tallo.
Konstelasi politik kala itu memang menempatkan Kerajaan Gowa-Tallo sebagai kerajaan yang unggul dalam segala hal, bukan saja soal ekonomi, militer dan politik. Tapi juga diketahui umum bahwa dengan diresmikannya Islam sebagai ajaran resmi kerajaan, maka secara otomatis, kerajaan Gowa-Tallo masuk dalam traktat persekutuan internasional antara kerajaan-kerajaan Islam yang beranggotakan kerajaan-kerajaan adidaya masa itu; Turki, Mogul India, Ternate-Tidore, Aceh dan sebagainya.
Namun tragisnya, seruan La Tenrirua ditolak keras oleh rakyatnya bahkan berujung pada pemakzulan posisinya sebagai Arumpone (1608). Ia dipandang sebagai raja yang tak ksatria dan lemah terhadap ancaman Gowa-Tallo. Apalagi masih segar dalam ingatan rakyat Bone serangan yang dilancarkan raja Gowa Tunipalangga (wafat 1565), Tunibatta (wafat 1565) dan Tunijallo (wafat 1590) yang terjadi dua dekade sebelumnya namun berhasil dipukul mundur oleh Bone yang saat itu dipimpin La Tenrirawe.
Bahkan Tunibatta, yang menyerang Bone hanya dua puluh lima hari setelah dilantik menggantikan Tunipalangga berhasil tertangkap di Bukaka dan kemudian dipenggal tanpa ampun. Kedigdayaan pasukan Bone terpatri sempurna melalui Perjanjian Caleppa (1565) yang memaksa Gowa-Tallo menyerahkan daerah-daerah strategisnya kepada Bone; daerah antara Sungai Walennae dan Ulaweng, Utara sungai Tangka dan Cenrana.
Berbekal keyakinan akan sejarah masa lalu bahwa Bone tak akan berhasil ditaklukkan oleh Gowa-Tallo, maka rakyat Bone lebih memilih mengusir La Tenrirua yang lemah dan mengangkat raja baru yang lebih patriotis dan ksatria untuk bangkit melawan Gowa-Tallo dan meneruskan tradisi kemenangan La Tenrirawe.
Setelah pemakzulan, La Tenrirua mengasingkan diri ke daerah Pattiro namun di daerah ini rupanya La Tenrirua juga menghadapi pembangkangan bahkan pengepungan oleh rakyatnya sendiri. Atas bantuan pasukan Gowa-Tallo, pengepungan ini berhasil digagalkan namun tak urung membuat La Tenrirua lari meninggalkan Pattiro. Ia akhirnya mengungsi ke Makassar dan di tempat itu menyempatkan diri memperdalam agama Islam di bawah bimbingan Datuk ri Bandang.
Sebagai pengganti La Tenrirua, rakyat Bone mengangkat Arung Timurung La Tenripale sebagai Arumpone yang baru. Ia kemudian maju memimpin pasukan Bone menghadapi aneksasi pasukan Gowa-Tallo dengan gagah berani. Namun, hanya dalam tiga tahun berselang (1611) pasukan La Tenripale berhasil ditaklukkan, terlebih karena persekutuan Tellumpoccoe (Bone, Soppeng, Wajo) yang selama ini dipandang kuat untuk menghadang laju Gowa-Tallo tidak lagi efektif karena sebelumnya Wajo dan Soppeng takluk di tangan Sultan Alauddin.
Takluknya Bone tidak serta merta mengembalikan tampuk kekuasaan ke tangan La Tenrirua. Kesan La Tenrirua sebagai penguasa yang lemah tidak bisa hilang begitu saja dari ingatan rakyat Bone. Meski keluar sebagai pemenang, Gowa-Tallo tetap membiarkan La Tenripale yang menjadi pilihan rakyat Bone sebagai Arumpone dan menyerahkan urusan politik Bone kepada rakyatnya. La Tenrirua, meski masih memiliki ambisi politik untuk menjadi Arumpone kembali, tak bisa lagi kembali ke tampuk kekuasaan Bone karena sikap politik yang ditempuh oleh Gowa-Tallo yang membiarkan pilihan rakyat Bone untuk tetap mengakui La Tenripale, Arung Timurung.
Agaknya, meski sudah takluk dan menganut Islam sebagai agama resmi, rakyat kerajaan Bone tetap berusaha menegakkan supremasi politisnya dengan menempatkan Arung pilihan mereka dan menolak kembalinya La Tenrirua yang lebih condong ke Gowa. Strategi politik Gowa yang lebih memilih untuk melanggengkan kekuasaan politis jangka panjangnya dengan merebut hati rakyat dan bangsawan Bone memutuskan jalan La Tenrirua untuk kembali ke arajangnya.
Sampai akhir hayatnya, La Tenrirua hidup dalam lingkungan Gowa-Tallo. Kerajaan pelindung ini kemudian menghadiahinya tanah di Bantaeng dan menjadi petirahan terakhir La Tenrirua hingga mangkatnya. Sesuai tradisi raja-raja di Sulawesi, setelah mangkat ia diberi gelar mengikuti kematiannya; La Tenrirua Matinroe ri Bantaeng.
Kemungkinan La Tenrirua-lah yang mewariskan keturunan suku Bugis di Bantaeng yang dikenal sebagai kawasan demografis suku berbahasa Makassar. Sebagaimana bisa ditemukan di daerah Gantarang yang umumnya menggunakan bahasa bugis sebagai bahasa pengantarnya. Bagi lidah bugis, Gantarang biasanya dituturkan sebagai Gattareng.
La Maddaremeng Matinroe ri Bukaka
(berkuasa 1626-1643, dan 1667-1672)

Sepeninggal La Tenripale pada 1630, rakyat Bone mengangkat La Maddaremmeng sebagai Arumpone yang ke-13. Hanya berselang 10 tahun dari pengangkatannya, pada 1640 La Maddaremeng menerapkan aturan agama Islam yang lebih ketat dari sebelumnya.
La Maddaremmeng memakai prinsip dan aturan menurut petunjuk Allah dalam kerajannya. Ia memberantas adat kebiasaan yang bertentangan dengan Syari’at Islam seperti berjudi, menyabung ayam, minum tuak dan perbudakan. Jauh sebelum kaum paderi pimpinan Imam Bonjol di Minangkabau (awal 1800an) menyerukan pembersihan agama Islam dari unsur-unsur adat yang tercampur paganisme, La Maddaremmeng sudah memulai gerakan revitalisasi ajaran Islam ini di Bone.
Menurut kronik sejarah, versi Islam yang dikenalkan oleh La Maddaremeng sesungguhnya belum pernah dikenal sebelumnya, terutama sebagaimana diserukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo yang menjadi muasal terjadinya perang Islam antara Gowa – Bone sebelumnya (musu’ assellengnge). Islam yang diserukan oleh Gowa Tallo sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah beraliran mistik sufiisme, yang lebih menekankan aspek spiritual (tarekat) dibanding ritual (syariat).
Tradisi perbudakan, sabung ayam, minum arak (ballo’), dan tradisi klenik semisal Bissu’ dan arajangeng nya masih ditolerir bahkan dipelihara dalam adat istiadat Bugis setelah masa Islam. Ada anggapan yang mengemukakan bahwa La Maddaremeng mendapatkan pencerahan dari Syekh Yusuf Tuanta Salamaka sehingga menerapkan Syariat Islam di kerajaannya. Namun hal ini agak meragukan, karena Syekh Yusuf Tuanta Salamaka sendiri adalah penghulu tarekat Khalwatiyah yang merupakan aliran yang umum dianut masyarakat Gowa-Tallo saat itu. Sumber-sumber sejarah Bugis lainnya tidak ada menyebutkan sumber ajaran yang dianut oleh La Maddaremeng ini. Mungkin saja ajaran Islam yang menekankan pada syariat Islam ini dibawa oleh saudagar Arab atau Jawa saat itu, namun keterangan resmi tidak didapatkan.
Pada tahun 1640, La Maddaremeng mengeluarkan pengumuman resmi yang melarang praktek perbudakan. Seluruh budak yang bukan merupakan keturunan budak sebelumnya diperintahkan utnuk dibebaskan atau diberi gaji sebagai imbalan pekerjaan mereka. Sudah awam dikenal masyarakat Bugis saat itu bahwa perbudakan banyak terjadi dikarenakan penaklukan. Banyak bangsawan dan rakyat kerajaan tertentu yang ditaklukkan dibawa ke Bone untuk dijadikan budak. Pada masa itu, budak yang berasal dari kerajaan Toraja, Wajo dan sekitarnya diperjual belikan oleh bangsawan Bone.
Bahkan beberapa diantaranya diekspor ke negara asing, seperti Belanda, Spanyol dan lainnya. Pelaku perdagangan budak umumnya dipelopori oleh kalangan bangsawan kala itu, dan budak ini menjadi komoditas utama yang sangat menguntungkan bagi mereka dibanding hasil bumi dan alam.
Karenanya, pengumuman penghapusan perbudakan ini menimbulkan perlawanan besar dari kalangan bangsawan Bone yang justru dipimpin oleh ibunda La Maddaremeng sendiri, Datu Pattiro We Tenrisoloreng. Dengan membandingkan dengan ajaran Islam yang dipraktekkan di Bone dan Gowa, Datu Pattiro We Tenrisoloreng secara terbuka menolak jenis Islam yang dianut oleh putranya karena dianggap kaku dan sulit dipraktekkan karena dianggap merusak tatanan sosial dan ekonomi masyarakat Bone saat itu.
Datu Pattiro We Tenrisoloreng dan beberapa bangsawan Bone kemudian memilih untuk meninggalkan Bone menuju kerajaan Gowa-Tallo untuk mencari perlindungan. Awalnya, kerajaan Gowa-Tallo menganggap perselisihan ini hanya bersifat internal saja dan melakukan pembiaran terhadap kebijakan La Maddaremeng. Namun sikap ini berubah ketika La Maddaremeng rupanya berusaha memaksakan perluasan pembaharuan ajaran Islam itu ke kawasan lain yang merupakan daerah taklukan Gowa-Tallo; Wajo, Soppeng, Masseppe, Bacukiki, dan Sawitto. Kerajaan Gowa-Tallo merasa hegemoni politik mereka mulai terancam dengan ekspansi La Maddaremeng ini.
Apalagi menurut beberapa sumber sejarah, kerajaan-kerajaan yang diserang itu lebih melihat motivasi militer La Maddaremeng ketimbang motif religius. Meski pembaharuan ajaran Islam mungkin menjadi momentum serangan La Maddaremeng, namun kerajaan-kerajaan itu menganggap pergerakan ini sebagai turunan dari persaingan politik yang sudah berlangsung lama di kawasan itu. Dominasi politik Bone hendak dibangkitkan kembali oleh La Maddaremeng.
Setelah negosiasi alot antara La Maddaremeng dan Sultan Malikussaid yang tidak membuahkan kepuasan di kedua belah pihak dan atas dasar alasan memulihkan ketertiban umum akibat tindakan La Maddaremeng menghapuskan perbudakan dan juga melindungi ibu dari gangguan anaknya, yaitu Datu Pattiro We Tenrisoloreng yang ditekan oleh La Maddaremeng, akhirnya Gowa-Tallo mendeklarasikan perang terhadap Bone, dengan dibantu oleh dua sekutu utama Gowa-Tallo; Wajo dan Soppeng. Tak sulit bagi persekutuan Gowa Tallo – Wajo dan Soppeng untuk menghancurkan pasukan La Maddaremeng di Passempe pada tahun 1643.
Setelah kekalahan menyakitkan ini, rakyat dan bangsawan Bone menyerahkan posisi Arumpone kepada seorang regent asal Makassar, Tobala Arung Tanete Riawang (1643-1660) dan La Maddaremeng ditangkap dan diasingkan ke Gowa. Gowa-Tallo kemudian menurunkan status kerajaan Bone dari daerah bawahan menjadi daerah taklukan/budak. Seluruh keistimewaan yang dinikmati Bone dicabut dan seluruh bangsawannya diasingkan ke Gowa untuk mencegah pemberontakan lanjutan. Hingga kemudian muncullah La Tenritatta Arung Palakka Petta Malampee Gemme’na Matinroe ri Bontoala yang melepaskan kekuasaan Gowa-Tallo atas Bone pada tahun 1672.
Menghadapi perlawanan La Tenritatta Arung Palakka, Raja Gowa saat itu Sultan Hasanunddin masih memerlukan peran La Maddaremeng sebagai regent baru untuk mengokohkan hegemoni Gowa-Tallo atas Bone. Namun La Maddaremeng hanya sempat menjadi Arumpone boneka selama 5 tahun hingga perang Makassar berakhir di tahun 1672 dengan kemenangan VOC dan La Tenritatta Arung Palakka.
Gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh La Maddaremeng kemudian tidak terdengar lagi gaungnya, meski beberapa kronik menyebutkan bahwa La Maddaremeng masih sempat membukukan ajarannya dalam bentuk tulisan untuk disebarkan kepada para pengikutnya. Berbeda dengan La Tenrirua yang terusir dari negerinya, La Maddaremeng masih sempat kembali ke negerinya dan mangkat di Bukaka.
»»  LANJUT BOS......

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...