SALAMAKKI

SALAMAKKI

BERANDA

Kamis, 07 April 2011

kisah raja bone



Raja Bone
Raja Bone

BoneLazimnya, raja sebagai pemimpin kerajaan dalam struktur kebudayaan nusantara adalah perwujudan strata tertinggi dan paripurna. Karenanya titahnya wajib diikuti oleh rakyat bawahannya. Namun dalam kronik kerajaan Bone, terdapat dua Raja Bone (Arumpone) yang ditentang oleh rakyatnya. Berikut rangkuman sejarah La Tenrirua dan La Maddaremeng oleh citizen reporter Muhammad Ruslailang Noertika(p!)
Sebagaimana yang banyak disaksikan dalam beberapa kronik sejarah umumnya, penaklukan atas suatu daerah berdaulat bukan saja mengangkangi sumber-sumber ekonomi daerah tersebut, tetapi juga menusuk ke dalam sendi terdalam kehidupan rakyatnya; kehidupan spiritual. Peperangan yang terjadi di muka bumi ini, bahkan hingga jaman modern sekarang, selain bermotif ekonomi juga dibonceng oleh motif politik-religius yang pengaruhnya jauh lebih lama dan permanen dibanding penguasaan geografis belaka.

Pada awal abad 15, Raja Tallo I Malingkaan Daeng Manyonri bergelar Sultan Awaluddin memeluk agama Islam, disusul oleh Raja Gowa I Mangngarangi Daeng Manrabia bergelar Sultan Alauddin. Proklamasi pengakuan agama Islam sebagai agama resmi kerajaan serta merta membuat konstelasi politik kerajaan-kerajaan di semenanjung selatan Sulawesi berangsur dinamis.
Agama baru ini ditengarai justru menjadi momentum kembalinya perseteruan klasik antara pucuk-pucuk kekuasaan di kawasan ini. Setelah hampir 20 tahun perseteruan antara Gowa dan Bone memasuki masa jeda (1590 – 1607) yang justru dipicu bukan karena perdamaian tetapi karena konflik internal masing-masing kerajaan, maka diresmikannya agama Islam menjadi agama kerajaan Gowa merekatkan kembali anasir-anasir yang terpecah sebelumnya.
Setelah rekonsiliasi internal tercapai dan sistem politik kerajaan Gowa kembali berpusat di tangan dua raja kembar tersebut, maka langkah selanjutnya adalah mengembalikan khittah dominasi Gowa atas semenanjung selatan Sulawesi. Kali ini motif dominasi adalah motif spiritual; penyebaran agama Islam yang diyakini oleh Sultan Alauddin sebagai jalan yang harus ditempuh untuk mendapatkan kebaikan.
Sudah mahfum dalam perjanjian masa sebelumnya di antara kerajaan-kerajaan di semenanjung selatan Sulawesi, bahwa sesiapa yang menemukan jalan kebenaran (laleng adecengeng), maka wajib baginya untuk menyampaikan kepada yang lain. Dalam rangka melaksanakan perjanjian inilah, Raja Gowa-Tallo bermaksud untuk menyebarkan secara militer dan politis, jalan baru yang mereka klaim sebagai jalan kebenaran; Islam, kepada kerajaan-kerajaan lainnya.
Islam yang dianut oleh Gowa-Tallo, menurut beberapa kronik sejarah sesungguhnya adalah Islam yang beraliran mistik sufiisme, yang lebih menekankan aspek spiritual (tarekat) dibanding ritual (syariat). Aliran itu bisa cepat diterima karena memiliki banyak kesamaan dengan struktur kepercayaan pra-Islam. Karenanya sampai zaman modern beberapa perilaku adat Bugis Makassar yang dianggap bertentangan dengan syariat Islam masih bisa ditemui semisal; sabung ayam, minum arak (ballo’), dan tradisi klenik yang dipelihara semisal Bissu’ dan arajangeng nya.
Meskipun ajaran Islam yang diserukan sebenarnya masih mengakomodir adat istiadat Bugis, namun maksud penyebaran agama Islam ini tidak serta merta dipahami oleh kerajaan-kerajaan Bugis sebagai sebuah jalan yang mengajak kepada kebaikan, tapi terlebih sebagai upaya perluasan kekuasaan Gowa-Tallo sebagaimana pernah dikerahkan oleh raja-raja pendahulu mereka. Meskipun sudah banyak rakyatnya yang memeluk agama Islam, terlebih karena peran vital tiga ulama asal Minangkabau yang diutus oleh Sultan Johor; Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro, Datuk Patimang, namun faktor kesejajaran politik yang timpang membuat raja-raja Bugis tidak begitu saja menerima ajakan ini dan lebih memilih perlawanan militer ketimbang tunduk secara politis.
Melalui rangkaian peperangan yang dikenal sebagai perang Islam (musu’ assellengnge) terjadi dalam empat tahun (1607-1611) berturut-turut kerajaan-kerajaan Bugis jatuh dalam kekuasaan Gowa-Tallo; Suppa (1607), Sidenreng (1608), Soppeng (1609), Wajo (1610) dan terakhir Bone (1611).
La Tenrirua Matinroe ri Bantaeng (berkuasa 1607-1608)
Yang menarik justru ketika mengamati kondisi internal kerajaan Bone sebelum penaklukan. Berbeda dengan rakyat Wajo yang lebih memihak kerajaan Gowa-Tallo karena alasan ‘ajakan’ kebaikan yang dibawa oleh Gowa-Tallo layak diikuti – namun Arung Wajo menampiknya, situasi kerajaan Bone justru sebaliknya. Penguasa Bone kala itu, Arumpone La Tenrirua (Arung Bone biasanya dituliskan mengikuti pelafazannya : Arumpone) menerima dengan baik ajakan Gowa untuk memeluk Islam dan menyerukan bangsawan dan rakyatnya untuk ikut bersamanya sebagai bentuk kepatuhan akan perjanjian purba yang ia yakini sebelumnya.
Seruan ini juga kemungkinan bermuatan politis sebagai upaya La Tenrirua melindungi rakyat Bone dari nasib lebih buruk sekiranya jalan militer ditempuh dan kemudian dijadikan kerajaan bawahan sebagaimana lazimnya negara taklukan. Apalagi saat itu kekuatan militer kerajaan Gowa-Tallo sedang pada masa keemasannya sehingga perimbangan kekuatan Bone menjadi inferior terhadap Gowa-Tallo.
Konstelasi politik kala itu memang menempatkan Kerajaan Gowa-Tallo sebagai kerajaan yang unggul dalam segala hal, bukan saja soal ekonomi, militer dan politik. Tapi juga diketahui umum bahwa dengan diresmikannya Islam sebagai ajaran resmi kerajaan, maka secara otomatis, kerajaan Gowa-Tallo masuk dalam traktat persekutuan internasional antara kerajaan-kerajaan Islam yang beranggotakan kerajaan-kerajaan adidaya masa itu; Turki, Mogul India, Ternate-Tidore, Aceh dan sebagainya.
Namun tragisnya, seruan La Tenrirua ditolak keras oleh rakyatnya bahkan berujung pada pemakzulan posisinya sebagai Arumpone (1608). Ia dipandang sebagai raja yang tak ksatria dan lemah terhadap ancaman Gowa-Tallo. Apalagi masih segar dalam ingatan rakyat Bone serangan yang dilancarkan raja Gowa Tunipalangga (wafat 1565), Tunibatta (wafat 1565) dan Tunijallo (wafat 1590) yang terjadi dua dekade sebelumnya namun berhasil dipukul mundur oleh Bone yang saat itu dipimpin La Tenrirawe.
Bahkan Tunibatta, yang menyerang Bone hanya dua puluh lima hari setelah dilantik menggantikan Tunipalangga berhasil tertangkap di Bukaka dan kemudian dipenggal tanpa ampun. Kedigdayaan pasukan Bone terpatri sempurna melalui Perjanjian Caleppa (1565) yang memaksa Gowa-Tallo menyerahkan daerah-daerah strategisnya kepada Bone; daerah antara Sungai Walennae dan Ulaweng, Utara sungai Tangka dan Cenrana.
Berbekal keyakinan akan sejarah masa lalu bahwa Bone tak akan berhasil ditaklukkan oleh Gowa-Tallo, maka rakyat Bone lebih memilih mengusir La Tenrirua yang lemah dan mengangkat raja baru yang lebih patriotis dan ksatria untuk bangkit melawan Gowa-Tallo dan meneruskan tradisi kemenangan La Tenrirawe.
Setelah pemakzulan, La Tenrirua mengasingkan diri ke daerah Pattiro namun di daerah ini rupanya La Tenrirua juga menghadapi pembangkangan bahkan pengepungan oleh rakyatnya sendiri. Atas bantuan pasukan Gowa-Tallo, pengepungan ini berhasil digagalkan namun tak urung membuat La Tenrirua lari meninggalkan Pattiro. Ia akhirnya mengungsi ke Makassar dan di tempat itu menyempatkan diri memperdalam agama Islam di bawah bimbingan Datuk ri Bandang.
Sebagai pengganti La Tenrirua, rakyat Bone mengangkat Arung Timurung La Tenripale sebagai Arumpone yang baru. Ia kemudian maju memimpin pasukan Bone menghadapi aneksasi pasukan Gowa-Tallo dengan gagah berani. Namun, hanya dalam tiga tahun berselang (1611) pasukan La Tenripale berhasil ditaklukkan, terlebih karena persekutuan Tellumpoccoe (Bone, Soppeng, Wajo) yang selama ini dipandang kuat untuk menghadang laju Gowa-Tallo tidak lagi efektif karena sebelumnya Wajo dan Soppeng takluk di tangan Sultan Alauddin.
Takluknya Bone tidak serta merta mengembalikan tampuk kekuasaan ke tangan La Tenrirua. Kesan La Tenrirua sebagai penguasa yang lemah tidak bisa hilang begitu saja dari ingatan rakyat Bone. Meski keluar sebagai pemenang, Gowa-Tallo tetap membiarkan La Tenripale yang menjadi pilihan rakyat Bone sebagai Arumpone dan menyerahkan urusan politik Bone kepada rakyatnya. La Tenrirua, meski masih memiliki ambisi politik untuk menjadi Arumpone kembali, tak bisa lagi kembali ke tampuk kekuasaan Bone karena sikap politik yang ditempuh oleh Gowa-Tallo yang membiarkan pilihan rakyat Bone untuk tetap mengakui La Tenripale, Arung Timurung.
Agaknya, meski sudah takluk dan menganut Islam sebagai agama resmi, rakyat kerajaan Bone tetap berusaha menegakkan supremasi politisnya dengan menempatkan Arung pilihan mereka dan menolak kembalinya La Tenrirua yang lebih condong ke Gowa. Strategi politik Gowa yang lebih memilih untuk melanggengkan kekuasaan politis jangka panjangnya dengan merebut hati rakyat dan bangsawan Bone memutuskan jalan La Tenrirua untuk kembali ke arajangnya.
Sampai akhir hayatnya, La Tenrirua hidup dalam lingkungan Gowa-Tallo. Kerajaan pelindung ini kemudian menghadiahinya tanah di Bantaeng dan menjadi petirahan terakhir La Tenrirua hingga mangkatnya. Sesuai tradisi raja-raja di Sulawesi, setelah mangkat ia diberi gelar mengikuti kematiannya; La Tenrirua Matinroe ri Bantaeng.
Kemungkinan La Tenrirua-lah yang mewariskan keturunan suku Bugis di Bantaeng yang dikenal sebagai kawasan demografis suku berbahasa Makassar. Sebagaimana bisa ditemukan di daerah Gantarang yang umumnya menggunakan bahasa bugis sebagai bahasa pengantarnya. Bagi lidah bugis, Gantarang biasanya dituturkan sebagai Gattareng.
La Maddaremeng Matinroe ri Bukaka
(berkuasa 1626-1643, dan 1667-1672)

Sepeninggal La Tenripale pada 1630, rakyat Bone mengangkat La Maddaremmeng sebagai Arumpone yang ke-13. Hanya berselang 10 tahun dari pengangkatannya, pada 1640 La Maddaremeng menerapkan aturan agama Islam yang lebih ketat dari sebelumnya.
La Maddaremmeng memakai prinsip dan aturan menurut petunjuk Allah dalam kerajannya. Ia memberantas adat kebiasaan yang bertentangan dengan Syari’at Islam seperti berjudi, menyabung ayam, minum tuak dan perbudakan. Jauh sebelum kaum paderi pimpinan Imam Bonjol di Minangkabau (awal 1800an) menyerukan pembersihan agama Islam dari unsur-unsur adat yang tercampur paganisme, La Maddaremmeng sudah memulai gerakan revitalisasi ajaran Islam ini di Bone.
Menurut kronik sejarah, versi Islam yang dikenalkan oleh La Maddaremeng sesungguhnya belum pernah dikenal sebelumnya, terutama sebagaimana diserukan oleh Kerajaan Gowa-Tallo yang menjadi muasal terjadinya perang Islam antara Gowa – Bone sebelumnya (musu’ assellengnge). Islam yang diserukan oleh Gowa Tallo sebagaimana dijelaskan sebelumnya adalah beraliran mistik sufiisme, yang lebih menekankan aspek spiritual (tarekat) dibanding ritual (syariat).
Tradisi perbudakan, sabung ayam, minum arak (ballo’), dan tradisi klenik semisal Bissu’ dan arajangeng nya masih ditolerir bahkan dipelihara dalam adat istiadat Bugis setelah masa Islam. Ada anggapan yang mengemukakan bahwa La Maddaremeng mendapatkan pencerahan dari Syekh Yusuf Tuanta Salamaka sehingga menerapkan Syariat Islam di kerajaannya. Namun hal ini agak meragukan, karena Syekh Yusuf Tuanta Salamaka sendiri adalah penghulu tarekat Khalwatiyah yang merupakan aliran yang umum dianut masyarakat Gowa-Tallo saat itu. Sumber-sumber sejarah Bugis lainnya tidak ada menyebutkan sumber ajaran yang dianut oleh La Maddaremeng ini. Mungkin saja ajaran Islam yang menekankan pada syariat Islam ini dibawa oleh saudagar Arab atau Jawa saat itu, namun keterangan resmi tidak didapatkan.
Pada tahun 1640, La Maddaremeng mengeluarkan pengumuman resmi yang melarang praktek perbudakan. Seluruh budak yang bukan merupakan keturunan budak sebelumnya diperintahkan utnuk dibebaskan atau diberi gaji sebagai imbalan pekerjaan mereka. Sudah awam dikenal masyarakat Bugis saat itu bahwa perbudakan banyak terjadi dikarenakan penaklukan. Banyak bangsawan dan rakyat kerajaan tertentu yang ditaklukkan dibawa ke Bone untuk dijadikan budak. Pada masa itu, budak yang berasal dari kerajaan Toraja, Wajo dan sekitarnya diperjual belikan oleh bangsawan Bone.
Bahkan beberapa diantaranya diekspor ke negara asing, seperti Belanda, Spanyol dan lainnya. Pelaku perdagangan budak umumnya dipelopori oleh kalangan bangsawan kala itu, dan budak ini menjadi komoditas utama yang sangat menguntungkan bagi mereka dibanding hasil bumi dan alam.
Karenanya, pengumuman penghapusan perbudakan ini menimbulkan perlawanan besar dari kalangan bangsawan Bone yang justru dipimpin oleh ibunda La Maddaremeng sendiri, Datu Pattiro We Tenrisoloreng. Dengan membandingkan dengan ajaran Islam yang dipraktekkan di Bone dan Gowa, Datu Pattiro We Tenrisoloreng secara terbuka menolak jenis Islam yang dianut oleh putranya karena dianggap kaku dan sulit dipraktekkan karena dianggap merusak tatanan sosial dan ekonomi masyarakat Bone saat itu.
Datu Pattiro We Tenrisoloreng dan beberapa bangsawan Bone kemudian memilih untuk meninggalkan Bone menuju kerajaan Gowa-Tallo untuk mencari perlindungan. Awalnya, kerajaan Gowa-Tallo menganggap perselisihan ini hanya bersifat internal saja dan melakukan pembiaran terhadap kebijakan La Maddaremeng. Namun sikap ini berubah ketika La Maddaremeng rupanya berusaha memaksakan perluasan pembaharuan ajaran Islam itu ke kawasan lain yang merupakan daerah taklukan Gowa-Tallo; Wajo, Soppeng, Masseppe, Bacukiki, dan Sawitto. Kerajaan Gowa-Tallo merasa hegemoni politik mereka mulai terancam dengan ekspansi La Maddaremeng ini.
Apalagi menurut beberapa sumber sejarah, kerajaan-kerajaan yang diserang itu lebih melihat motivasi militer La Maddaremeng ketimbang motif religius. Meski pembaharuan ajaran Islam mungkin menjadi momentum serangan La Maddaremeng, namun kerajaan-kerajaan itu menganggap pergerakan ini sebagai turunan dari persaingan politik yang sudah berlangsung lama di kawasan itu. Dominasi politik Bone hendak dibangkitkan kembali oleh La Maddaremeng.
Setelah negosiasi alot antara La Maddaremeng dan Sultan Malikussaid yang tidak membuahkan kepuasan di kedua belah pihak dan atas dasar alasan memulihkan ketertiban umum akibat tindakan La Maddaremeng menghapuskan perbudakan dan juga melindungi ibu dari gangguan anaknya, yaitu Datu Pattiro We Tenrisoloreng yang ditekan oleh La Maddaremeng, akhirnya Gowa-Tallo mendeklarasikan perang terhadap Bone, dengan dibantu oleh dua sekutu utama Gowa-Tallo; Wajo dan Soppeng. Tak sulit bagi persekutuan Gowa Tallo – Wajo dan Soppeng untuk menghancurkan pasukan La Maddaremeng di Passempe pada tahun 1643.
Setelah kekalahan menyakitkan ini, rakyat dan bangsawan Bone menyerahkan posisi Arumpone kepada seorang regent asal Makassar, Tobala Arung Tanete Riawang (1643-1660) dan La Maddaremeng ditangkap dan diasingkan ke Gowa. Gowa-Tallo kemudian menurunkan status kerajaan Bone dari daerah bawahan menjadi daerah taklukan/budak. Seluruh keistimewaan yang dinikmati Bone dicabut dan seluruh bangsawannya diasingkan ke Gowa untuk mencegah pemberontakan lanjutan. Hingga kemudian muncullah La Tenritatta Arung Palakka Petta Malampee Gemme’na Matinroe ri Bontoala yang melepaskan kekuasaan Gowa-Tallo atas Bone pada tahun 1672.
Menghadapi perlawanan La Tenritatta Arung Palakka, Raja Gowa saat itu Sultan Hasanunddin masih memerlukan peran La Maddaremeng sebagai regent baru untuk mengokohkan hegemoni Gowa-Tallo atas Bone. Namun La Maddaremeng hanya sempat menjadi Arumpone boneka selama 5 tahun hingga perang Makassar berakhir di tahun 1672 dengan kemenangan VOC dan La Tenritatta Arung Palakka.
Gerakan pembaharuan Islam yang dipelopori oleh La Maddaremeng kemudian tidak terdengar lagi gaungnya, meski beberapa kronik menyebutkan bahwa La Maddaremeng masih sempat membukukan ajarannya dalam bentuk tulisan untuk disebarkan kepada para pengikutnya. Berbeda dengan La Tenrirua yang terusir dari negerinya, La Maddaremeng masih sempat kembali ke negerinya dan mangkat di Bukaka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas kunjungan dan komentarnya... anda puas saya lemas......

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...