SALAMAKKI

SALAMAKKI

BERANDA

Sabtu, 09 April 2011

Komunitas Adat Towani Tolotang di Kabupaten Sidrap

Mungkin sobat-sobat pembaca khususnya yang berasal dari Sulawesi Selatan pernah mendengar tentang komunitas adat Towani Tolotang. Komunitas ini adalah sebuah kelompok masyarakat bugis yang punya kepercayaan dan ritual sendiri di luar lima agama yang diakui di Indonesia, walaupun pemerintah memasukkan kelompok ini dalam naungan Agama Hindu, tapi dalam kesehariannya ataupun dalam perayaan hari besarnya komunitas ini punya ciri khas yaitu memakai kopiah hitam seperti layaknya orang Islam tetapi sebagian besar tidak memakai alas kaki.
Di Kelurahan Amparita lama, Kecamatan Tellu Limpoe, Kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan komunitas Towani Tolotang ini berkembang dan bermukim sejak ratusan tahun lalu. Komunitas ini, terjaga secara turun-temurun dan terus berkembang hingga sekarang ini. Bagi sebagian orang, ketika mendengar komunitas Tolotang disebut, mungkin akan berpikir tentang sebuah kampung pedalaman yang orang-orang di dalamnya begitu tertinggal layaknya pemukiman dan komunitas di pedalaman Papua. Namun itu sama sekali salah. Sebaliknya, komunitas ini berada di ibukota kecamatan.
Dari ibukota kabupaten, Pangkajene, Amparita hanya berjarak sekira 8 km. Jarak tempuh dengan kendaraan roda dua ataupun empat paling lama setengah jam. Sementara dari Kota Makassar, Amparita hanya berjarak 231 km. Tak ada ciri khusus yang begitu membedakan komunitas ini dengan masyarakat sekitar yang mayoritas suku Bugis. Bahkan, mereka juga tetap menegaskan identitas dirinya selaku orang Bugis. Hanya saja, mereka punya kepercayaan berbeda dari warga lain yang mayoritas beragama Islam.
Menurut sejarah yang berkembang kepercayaan ini  berasal dari Kabupaten Wajo. Towani itu nama sebuah kampung atau desa di Wajo. Yang membawa adalah Ipabbere, seorang perempuan. Ia meninggal ratusan tahun lalu dan dimakamkan di Perinyameng, sebuah daerah di sebelah barat Amparita. Makam Ipabbere inilah yang kemudian selalu dikunjungi dan ditempati untuk acara tahunan komunitas ini yang selalu ramai. Acara adat tahunan yang dilaksanakan setiap bulan Januari itu juga merupakan pesan dari Ipabbere. Ipabbare berpesan ke anak cucunya bahwa jika kelak ia meninggal, kuburnya harus diziarahi sekali setahun. Makanya, seluruh warga komunitas berdatangan dari segala penjuru, mulai dari Jakarta, Kalimantan, hingga Papua. Bahkan hanya yang cacat dan anak-anak saja yang tak hadir setiap Januari itu.

Hari Raya Massempe Tolotang
Beberapa tahun lalu komunitas ini diakui oleh pemerintah sebagai aliran kepercayaan. Namun karena ada kebijakan pemerintah yang hanya mengakui lima agama di Indonesia, maka pada tahun 1996, pemerintah menawarkan tiga pilihan ke warga Tolotang untuk memilih antara Islam, Kristen atau Hindu. Aturan itulah yang akhirnya membuat komunitas Tolotang takluk. Mereka akhirnya harus menanggalkan aliran kepercayaannya yang sudah dianut sejak ratusan tahun dan memilih untuk bernaung di bawah Hindu. Namun adat istiadat sebagai komunitas Tolotang tetap terjaga. Sejak saat itu jika ada acara agama Hindu di luar Sulsel, seperti Jakarta dan Bali, mereka selalu diundang secara khusus. Tapi acara-cara ritual yang mereka lakukan sama sekali berbeda dengan agama Hindu, hal ini juga dapat dilihat ketika perayaan Hari Raya Nyepi Agama Hindu, tak ada kegiatan apa-apa di kalangan orang Tolotang.
Towani Tolotang resmi berafiliasi dengan Hindu pada tahun 1966 berdasarkan surat keputusan Dirjen Bimas Hindu nomor dua dan nomor enam tahun 1966. Mengapa memilih memeluk Hindu? Menurut mereka, alasannya sederhana. Di antara semua agama yang ditawarkan pemerintah, Hindu-lah yang punya kesamaan dan kemiripan, termasuk soal prinsip. Terkait sejarah komunitas ini yang berasal berasal dari Wajo. Komunitas ini ada di sana jauh sebelum Islam masuk. Waktunya sekira abad ke-16. Hanya saja saat itu tidak berkembang seperti sekarang. Namun karena sebuah proses sejarah, Tolotang kemudian harus berpindah. Masuknya Islam di Wajo rupanya tidak bisa memberi ruang yang bebas untuk berkembangnya bagi Tolotang. Makanya beralih ke Amparita. Itu sekira abad 17. Sejak itu, Tolotang berkembang dan diayomi pemerintahan Sidenreng. Terjadi hubungan yang baik antara warga Tolotang dengan warga komunitas lain. Hingga saat ini, di semua kecamatan di Sidrap anggota komunitas ini pasti ada.  KomunitasTolotang juga ada di Maritengngae, Tellu Limpoe, Wattangpulu, Sidenreng, Dua Pitue, serta Dua Pitue Lama. Hanya saja, basis utamanya memang di Tellu Limpoe. Tokoh adatnya juga banyak dan menyebar di seluruh kecamatan.
Rumah Tokoh Adat tak Punya Kursi. Bentuk rumah para pemangku adat Tolotang yang biasa dipanggil Wa’ (gelar ini merupakan sebutan tokoh generasi penerus dari pimpinan adat yang diberikan secara turun temurun) berarsitektur tempo dulu, dibawahnya terdapat beberapa balai-balai terbuat dari bambu yang diraut kecil-kecil. Setiap kali balai bambu rumah tokoh adat rusak, warga komunitas ini akan berkumpul dan bekerja bersama-sama untuk sekadar memperbaiki atau menggantinya. Mereka begitu teguh mempertahankan adatnya yang masih bersifat feodal. Rumah tokoh adat Tolotang sangat jauh beda dengan rumah warga lainnya, khususnya di luar komunitas ini. Satu hal yang paling tampak jelas membedakan adalah tiang rumah yang segi delapan dan bundar. Rumah adat punya ciri khusus. Namun bentuk ini tidak tertutup kemungkinan bisa diikuti warga biasa. Semuanya disesuaikan kemampuan. Bentuk tiang yang bulat itu punya makna khusus. Tiang bulat itu diibaratkan bahwa paham Tolotang ini kokoh terus, dan dipegang teguh. Tekad komunitas ini bulat dan kuat sepanjang masa.
Bukan hanya tiang dan arsitektur luar rumah yang beda dari rumah kebanyakan. Bagian dalam rumah juga demikian. Di rumah adat, jangan pernah berharap menemukan satu kursi pun. Sebab memang rumah adat tidak dibolehkan memiliki kursi. Kalau di rumah warga biasa komunitas ini, itu tidak diatur secara khusus. Mereka bisa saja memiliki kursi.  Rumah ini menjadi tempat suci selain makam leluhur di Perinyameng. Secara keseluruhan, jumlahnya di Amparita sekira 30-an rumah.
Selain di rumah tokoh adat dan pengabdian para warga komunitas Tolotang, acara-acara lain juga masih sangat kental dengan nuansa adatnya. Dalam hal penentuan hari H acara ziarah kuburan I Pabbere di Perinyameng, misalnya. Hari dan tanggalnya ditentukan berdasarkan hasil tudang sipulung (musyawarah) tokoh adat. Biasanya para tokoh adat disaksikan warganya berembuk menentukan hari baik. Saat hari H juga mereka punya acara adat, massempek (saling tendang, Bahasa Bugis). Dulu, massempek ini melibatkan orang dewasa. Namun karena pernah ada gesekan yang muncul dan ditakutkan muncul dendam, akhirnya orang dewasa diganti oleh anak SD.
Kemampuan komunitas Tolotang menjaga adatnya juga banyak menarik minat peneliti dari berbagai negara di dunia. Peneliti-peneliti dari Amerika, Jerman, Jepang, Kanada, serta Belanda, sudah sering ke Amparita untuk secara khusus mendalami komunitas ini. Mereka menanyakan budaya Tolotang dan adat istiadatnya. Rumah-rumah juga diteliti. Itu sejak tahun 70-an. Ada juga beberapa polisi dan mahasiswa yang ingin menyelesaikan program S1, S2, atau S3-nya yang datang meneliti di komunitas ini.
Sebelum abad ke-16, komunitas Towani Tolotang terus berkembang. Hingga kini, jumlah mereka secara keseluruhan,– termasuk di sejumlah provinsi di luar Sulsel, menghampiri 40 ribu orang. Namun sayangnya, hingga saat ini, mencari informasi dari sumber-sumber pada komunitas ini sendiri sangatlah sulit. Jangan pernah berharap bahwa warga kebanyakan komunitas ini akan melayani atau menjawab pertanyaan Anda soal komunitasnya. Sebab urusan komunitas ini, seluruhnya ada di tangan tokoh adat yang biasa disapa Wa atau Uwa. Untuk mencari tahu komunitas ini, harus melalui mulut seorang Wa. Tapi, informasi satu pintu itulah yang membuat komunitas ini tetap bertahan seperti sekarang. Langgengnya komunitas ini, juga ditopang prinsip yang mereka pegang secara turun temurun. Prinsip tersebut adalah tetteng (dalam bahasa Bugis: artinya konsisten).  Mereka tidak pernah berubah dan tidak terpengaruh dengan kondisi apa pun.
Sejak kecil, anak-anak komunitas ini, sudah diberi pemahaman dan pesan khusus soal Towani Tolotang. Para Wa-lah yang paling berperan untuk memberi pemahaman. Sebab, mereka memang mengambil peran selaku tokoh yang memberi pencerahan agama atau dalam Islam lazim disebut ustaz. Meski demikian, seiring perkembangan zaman, ada juga beberapa warga komunitas ini yang akhirnya berubah haluan. Mereka lebih memilih keluar dari komunitasnya dan memeluk Islam. Banyak yang bergeser masuk Islam, bahkan banyak yang sudah berhaji. Setelah berpindah agama, tidak ada lagi kewenangan mereka di Tolotang. Pernikahan juga menjadi salah satu pemicu adanya pergeseran ini. Dan komunitas ini memang cukup ketat  dalam masalah pernikahan, semua yang menikah di luar Tolotang, termasuk Islam, berarti sudah keluar. Mereka tidak diakui lagi.
Namun, adanya perpindahan agama itu tak membuat permusuhan. Sebab dari awal, warga Tolotang memang punya hubungan baik dan keakraban dengan masyarakat yang lainnya. Mereka selalu rukun dan damai. Sebab, di Amparita, Tolotang dengan masyarakat Islam memang rata-rata punya hubungan famili. Bahkan, orang Islam yang tidak punya hubungan famili dengan mereka hanya yang betul-betul datang dari luar Amparita. Saya sendiri (Ladewa) menikah dengan wanita Amparita yang juga memiliki beberapa family dari komunitas Tolotang. Mereka juga menegaskan bahwa komunitas Tolotang merupakan bagian dari etnis Bugis. hanya bedanya dalam hal kepercayaan saja. Bahasa yang mereka gunakan juga bahasa Bugis.
Soal sejumlah warga komunitas yang memilih meninggalkan Tolotang, kebanyakan mereka memilih keluar karena memeluk Islam. Mereka yang memeluk Islam ini, kemudian menamakan diri Tolotang Benteng.
Sebagai komunitas yang terbuka, memang tidak menutup kemungkinan ada warga mereka yang keluar dari Tolotang dan tidak pernah dipermasalahkan. Tapi sebaliknya, juga demikian. Ada juga penganut lain yang mau bergabung dengan Tolotang. Hanya memang, hal itu sangat sulit. Bahkan, bisa jadi tertutup. Sebab, prinsip mereka, Tolotang tidak berkembang dengan menerima orang lain tapi mereka berkembang berdasarkan anak cucu. Oh ya, sebagian besar dari orang-orang Tolotang ini berprofesi sebagai petani.
Mengenai munculnya Tolotang Benteng yang disebut-sebut merupakan Tolotang yang menganut Islam, para tokoh adat membenarkannya. Namun menurut mereka orang-orang ini tak lagi diakui. Tapi konon kabarnya, mereka juga punya Uwa. Tapi mereka tetap rukun dan tidak saling mengganggu.
Amparita, salah satu wilayah kecamatan di Kabupaten Sidrap, kini masih banyak warganya menganut kepecayaan Towani Tolotang. Sekitar 5000 warga di wilayah itu yang menganut kepercayaan yang sudah turun temurun. Ini merupakan penganut terbesar kedua setelah penganut Agama Islam yang jumlahnya lebih 200 ribu jiwa. Pemerintah Indonesia hanya mengakui lima agama, selebihnya dikategorikan sebagai Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Karena penganut Tolotang tidak mau disebut sebagai aliran kepercayaan, mereka menggabungkan diri dengan Agama Hindu. Itulah sampai sekarang dikenal dengan nama Hindu Tolotang.
Penganut Towani Tolotang ini juga mengenal adanya Tuhan. Mereka lebih mengenalnya dengan nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE. PatotoE diakui memiliki kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, baik di dunia atas maupun dunia bawah. Dialah yang menciptakan alam raya dan seluruh isinya. Penganut Tolotang percaya bahwa manusia pertama dibumi ini sudah musnah. Adapun manusia yang hidup sekarang adalah manusia periode kedua, setelah manusia pertama musnah. Suatu ketika, PatotoE (Dewata SeuwaE) tertidur lelap. Ketiga pengikutnya yang dipercayakan menjaganya, yakni Rukkelleng, Rumma Makkapong dan Sangiang Jung, pergi mengembara ke dunia lain. Ketika mereka sampai di bumi, ketiganya melihat bahwa ada dunia kosong. Sekembalinya dari pengembaraan, ketiganya bertemu dengan PatotoE, lalu menceritakan pengalaman yang mereka saksikan, bahwa masih ada dunia yang kosong. Mereka usulkan agar diutus seseorang untuk tinggal di dunia kosog itu. Rupanya PatotoE tertarik dengan cerita tersebut. PatotoE lantas berunding dengan istrinya Datu Palinge dan seluruh pimpinan di negeri Kayangan. Setelah istrinya setuju, maka diutuslah Batara Guru turun ke bumi. Masyarakat sekarang menyebutnya Batara Guru sebagai Tomanurung. Setelah beberapa lama di bumi, Batara Guru merasa kesepian. Ia minta agar diturunkan satu manusia lagi ke bumi. Maka turunlah I Nyili Timo, putri dari Riseleang. Batara Guru kemudian kawin dengan I Nyili Timo. Hasil dari perkawinannya tersebut membuahkan seorang putra, namanya Batara Lettu. Setelah Batara Lettu dewasa, ia kemudian dikawinkan dengan Datu Sengngeng, putri dari Leurumpesai. Hasil perkawinannya melahirkan dua anak kembar, satu putra dan satu putri. Yang putra bernama Sawerigading sedangkan yang putri bernama I Tenriabeng. Tetapi hanya Sawerigading yang diakui sebagai manusia yang luar biasa, karena banyak memberikan ajaran kepahlawanan. Sawerigading kemudian kawin dengan I Cudai, salah seorang putri raja dari Cina. Hasil perkawinannya membuahkan seorang anak, yang bernama Lagaligo.
Pada masa Sawerigading, negeri makin aman. Penduduk sangat tunduk pada perintahnya. Setelah Sawerigading meninggal, masyarakat tambah kacau. Terjadi pertengkaran dimana-mana hingga banyak menelan korban. Peristiwa tersebut membuat Dewata SeuwaE marah. Dewata lantas menyuruh semua manusia agar kembali ke asalnya, maka terjadilah dunia kosong. Setelah sekian lama dunia kosong, PatotoE kembali mengisi manusia di bumi ini sebagai generasi kedua. Manusia yang diturunkan oleh PatotoE inilah yang akan meneruskan keyakinan yang dianut oleh Sawerigading sebelum dunia dikosongkan oleh PatotoE. Manusia periode kedua yang diturunkan Dewata PatotoE ini, tidak mengetahui betul keyakinan yang diajarkan oleh Sawerigading. Dalam keyakinan penganut Tolotang, ajaran Dewata SeuwaE itu diturunkan sebagai Wahyu. Wahyu dari Dewata selanjutnya diturunkan pada La Panaungi. La Panaungi kembali mendengar suara dari atas Kayangan : Berhentilah bekerja, terimalah ini yang saya katakana. Akulah DewataE, yang berkuasa segala-galanya. Aku akan memberikan keyakinan agar manusia selamat di dunia dan hari kemudian. Akulah Tuhanmu yang menciptakan dunia dan isinya. Keyakinan yang harus kamu anut adalah Towani. Tetapi sebelum kuberikan wahyu, bersihkanlah dirimu. Setelah wahyu ini diterima, sebarkanlah pada anak cucumu. Suara itu turun tiga kali berturut-turut. Untuk membuktikan keyakinan yang diberikan itu, DewataE kemudian membawa La Panaungi ke tanah tujuh lapis dan ke langit tujuh lapis untuk menyaksikan kekuasaan DewataE pada dua tempat, yakni Lipu Bonga, yang merupakan tempat bagi orang-orang yang mengikuti perintah DewataE menurut ajaran Toani, juga tempat orang-orang yang melanggar keyakinan Toani. Ajaran yang diterima oleh La Panaungi ini kemudian disebarkan pada penduduk, hingga banyak pengikutnya. Pokok-pokok kepercayaan Tolotang yang diajarkan adalah : Dewata SeuwaE, hari kiamat di hari kemudian (Lino Paimeng), yang menerima wahyu dari Dewata SeuwaE dan kitab suci (lontaraq). Hari kemudian terdapat di Lipu Bonga sebagai tempat orang-orang taat perintah DewataE. Ajaran Tolotang sama sekali tidak mengenal konsep neraka, nasib manusia sepenuhnya digantungkan pada Uwatta.
Dalam ajaran Tolotang, pengikutnya dituntut mengakui adanya Molalaleng yakni kewajiban yang harus dijalankan oleh pengikutnya. Kewajiban dimaksud adalah : Mappianre Inanre, yakni persembahan nasi/makanan yang dipersembahkan dalam ritus/upacara, dengan cara menyerahkan daun sirih dan nasi lengkap dengan lauk pauk ke rumah uwa dan uwatta. Tudang Sipulung, yakni duduk berkumpul bersama melakukan ritus pada waktu tertentu guna meminta keselamatan pada Dewata. Sipulung, berkumpul sekali setahun untuk melaksanakan ritus tertentu di kuburan I Pabbere di Perrinyameng. Biasanya dilakukan setelah panen sawah tadah hujan. Menyangkut kejadian manusia, Tolotang juga mengenal empat unsur kejadian manusia, yakni  tanah, air, api dan angin. Dalam acara ritual, keempat unsur tersebut disimbolkan pada empat jenis makanan yang lebih dikenal dengan istilah Sokko Patanrupa (nasi empat macam). Yakni nasi putih diibaratkan air, nasi merah diibaratkan api, nasi kuning diibaratkan angin dan nasi hitam diibaratkan tanah. Itulah sebabnya, setiap upacara Mappeanre atau Mappano Bulu, sesajiannya terdiri dari Sokko Patanrupa.
Sebelum La Panaungi meninggal, ia sempat berpesan untuk meneruskan ajaran yang ia terima dari DewataE dan minta agar pengikutnya berziarah ke kuburannya sekali setahun. Itulah sebabnya, kuburan La Panaungi telah banyak diziarahi pengikutnya setiap saat. Penganut agama Tolotang ini sempat berkembang, tetapi pada abad ke-16,ketika Islam berpengaruh di beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan, jumlah penganut Tolotang tidak berubah bahkan cenderung menurun. Pada Tahun 1609, Addatuang Sidenreng, La Patiroi dan mantunya La Pakallongi, secara resmi menerima Islam sebagai agamanya dan menjadikannya sebagai agama kerajaan. Pengaruh Islam terus berkembang hingga banyak masyarakat yang tadinya menganut Hindu Tolotang beralih ke agama Islam. Hingga kini sekitar 98 % warga Sidrap memeluk agama Islam. Kekhasan budaya To Lotang Sidrap
Salah satu keunikan budaya di Kabupaten Sidrap, yakni adanya komunitas masyarakat yang akrab dipanggil dengan nama To Lotang yang umumnya berada di Kelurahan Amparita, Kecamatan Tellu Limpoe. Kelurahan ini juga merupakan salah satu pusat wilayah pemukiman To Wani atau To Lotang yang sampai hari ini tetap eksis melestarikan tradisi warisan leluhurnya secara turun-temurun dalam lingkup sistem sosial mereka. To Lotang atau To Wani merupakan istilah yang pertama kali diucapkan oleh La Patiroi, Addatuang Sidenreng VII, untuk menyebut pendatang yang berasal dari arah Selatan, yaitu Wajo. Dimana To Lotang terdiri atas 2 (dua) kata yaitu kata To (bahasa Bugis) yang berarti orang dan kata lotang yang berasal dari bahasa Bugis Sidrap yakni Lautang yang berarti Selatan. Pendatang ini terusir dari Wajo, oleh karena pada saat itu Arung Matowa Wajo telah memeluk Islam dan mewajibkan semua rakyatnya juga memeluk agama Islam. Bagi rakyatnya yang tidak mau mengikuti perintahnya, maka sebagai konsekuensinya harus meninggalkan tanah Wajo. Kemudian sekelompok masyarakat Wajo yang tidak bersedia memeluk agama Islam, dipimpin oleh I Goliga dan I Pabbere, meninggalkan tanah leluhurnya, Wajo dan hijrah ke Tanah Bugis lainnya. I Goliga akhirnya tiba di Bacukiki, Parepare dan I Pabbere sampai di Amparita yang kemudian mengadakan perjanjian Adek Mappura Onrona Sidenreng dengan La Patiroi. Akhirnya I Pabbere diberikan izin untuk menetap di Loka Popang (susah dan lapar), sebelah selatan Amparita, dengan syarat :
  1. Adat Sidenreng tetap utuh serta harus dipatuhi
  2. Keputusan harus dipelihara
  3. Janji harus ditepati
  4. Suatu keputusan yang telah berlaku harus lestarikan
  5. Agama Islam harus diagungkan dan dijalankan.
Setelah rombongan I Pabbere menetap dan bertani di Loka Popang, kemudian nama tersebut diganti dengan nama Perrinyameng, yang berarti setelah susah datanglah senang. Di tempat inilah, I Pabbere meninggal dunia yang kemudian juga dimakamkan di Perrynyameng. Dalam versi lain disebutkan bahwa pendiri Toani Tolotang adalah La Panaungi. Penganut Toani Tolotang ini mengenal adanya Tuhan. Mereka lebih mengenalnya dengan nama Dewata SeuwaE (Tuhan Yang Maha Esa) yang bergelar PatotoE. PatotoE diakui memiliki kekuatan yang lebih tinggi dari manusia, baik di dunia atas maupun dunia bawah. Dialah yang menciptakan alam raya dan seluruh isinya. Penganut Tolotang percaya bahwa manusia pertama dibumi ini sudah musnah. Adapun manusia yang hidup sekarang adalah manusia periode kedua, setelah manusia pertama musnah. Diceritakan bahwa suatu ketika, PatotoE (Dewata SeuwaE) tertidur lelap. Ketiga pengikutnya yang dipercayakan menjaganya, yakni Rukkelleng, Rumma Makkapong dan Sangiang Jung, pergi mengembara ke dunia lain. Ketika mereka sampai di bumi, ketiganya melihat bahwa ada dunia kosong. Sekembalinya dari pengembaraan, ketiganya bertemu dengan PatotoE, lalu menceritakan pengalaman yang mereka saksikan, bahwa masih ada dunia yang kosong. Mereka usulkan agar diutus seseorang untuk tinggal di dunia kosog itu. Rupanya PatotoE tertarik dengan cerita tersebut. PatotoE lantas berunding dengan istrinya Datu Palinge dan seluruh pimpinan di negeri Kayangan. Setelah istrinya setuju, maka diutuslah Batara Guru turun ke bumi. Masyarakat sekarang menyebutnya Batara Guru sebagai Tomanurung. Setelah beberapa lama di bumi, Batara Guru merasa kesepian. Ia minta agar diturunkan satu manusia lagi ke bumi. Maka turunlah I Nyili Timo, putri dari Riseleang. Batara Guru kemudian kawin dengan I Nyili Timo. Hasil dari perkawinannya tersebut membuahkan seorang putra, namanya Batara Lettu. Setelah Batara Lettu dewasa, ia kemudian dikawinkan dengan Datu Sengngeng, putri dari Leurumpesai. Hasil perkawinannya melahirkan dua anak kembar, satu putra dan satu putri. Yang putra bernama Sawerigading sedangkan yang putri bernama I Tenriabeng. Tetapi hanya Sawerigading yang diakui sebagai manusia yang luar biasa, karena banyak memberikan ajaran kepahlawanan. Sawerigading kemudian kawin dengan I Cudai, salah seorang putri raja dari Cina. Hasil perkawinannya membuahkan seorang anak, yang bernama Lagaligo. Pada masa Sawerigading, negeri makin aman. Penduduk sangat tunduk pada perintahnya. Setelah Sawerigading meninggal, masyarakat tambah kacau. Terjadi pertengkaran dimana-mana hingga banyak menelan korban. Peristiwa tersebut membuat Dewata SeuwaE marah. Dewata lantas menyuruh semua manusia agar kembali ke asalnya, maka terjadilah dunia kosong. Setelah sekian lama dunia kosong, PatotoE kembali mengisi manusia di bumi ini sebagai generasi kedua. Manusia yang diturunkan oleh PatotoE inilah yang akan meneruskan keyakinan yang dianut oleh Sawerigading sebelum dunia dikosongkan oleh PatotoE.
Manusia periode kedua yang diturunkan Dewata PatotoE ini, tidak mengetahui betul keyakinan yang diajarkan oleh Sawerigading. Dalam keyakinan penganut Tolotang, ajaran Dewata SeuwaE itu diturunkan sebagai Wahyu. Wahyu dari Dewata selanjutnya diturunkan pada La Panaungi. La Panaungi kembali mendengar suara dari atas Kayangan : Berhentilah bekerja, terimalah ini yang saya katakan. Akulah DewataE, yang berkuasa segala-galanya. Aku akan memberikan keyakinan agar manusia selamat di dunia dan hari kemudian. Akulah Tuhanmu yang menciptakan dunia dan isinya. Keyakinan yang harus kamu anut adalah Toani. Tetapi sebelum kuberikan wahyu, bersihkanlah dirimu. Setelah wahyu ini diterima, sebarkanlah pada anak cucumu. Suara itu turun tiga kali berturut-turut. Untuk membuktikan keyakinan yang diberikan itu, DewataE kemudian membawa La Panaungi ke tanah tujuh lapis dan ke langit tujuh lapis untuk menyaksikan kekuasaan DewataE pada dua tempat, yakni Lipu Bonga, yang merupakan tempat bagi orang-orang yang mengikuti perintah DewataE menurut ajaran Toani, juga tempat orang-orang yang melanggar keyakinan Toani. Ajaran yang diterima oleh La Panaungi ini kemudian disebarkan pada penduduk, hingga banyak pengikutnya. Pokok-pokok kepercayaan Tolotang yang diajarkan adalah : Dewata SeuwaE, hari kiamat di hari kemudian (Lino Paimeng), yang menerima wahyu dari Dewata SeuwaE dan kitab suci (lontaraq). Hari kemudian terdapat di Lipu Bonga sebagai tempat orang-orang taat perintah DewataE. Ajaran Tolotang sama sekali tidak mengenal konsep neraka, nasib manusia sepenuhnya digantungkan pada Uwatta. Dalam ajaran Tolotang, pengikutnya dituntut mengakui adanya Molalaleng yakni kewajiban yang harus dijalankan oleh pengikutnya. Kewajiban dimaksud adalah : Mappianre Inanre, yakni persembahan nasi/makanan yang dipersembahkan dalam ritus/upacara, dengan cara menyerahkan daun sirih dan nasi lengkap dengan lauk pauk ke rumah uwa dan uwatta. Tudang Sipulung, yakni duduk berkumpul bersama melakukan ritus pada waktu tertentu guna meminta keselamatan pada Dewata. Sipulung, berkumpul sekali setahun untuk melaksanakan ritus tertentu di kuburan I Pabbere di Perrinyameng. Biasanya dilakukan setelah panen sawah tadah hujan. Menyangkut kejadian manusia, Tolotang juga mengenal empat unsur kejadian manusia, yakni tanah, air, api dan angin. Dalam acara ritual, keempat unsur tersebut disimbolkan pada empat jenis makanan yang lebih dikenal dengan istilah Sokko Patanrupa (nasi empat macam). Yakni nasi putih diibaratkan air, nasi merah diibaratkan api, nasi kuning diibaratkan angin dan nasi hitam diibaratkan tanah. Itulah sebabnya, setiap upacara Mappeanre atau Mappano Bulu, sesajiannya terdiri dari Sokko Patanrupa. Sebelum La Panaungi meninggal, ia sempat berpesan untuk meneruskan ajaran yang ia terima dari DewataE dan minta agar pengikutnya berziarah ke kuburannya sekali setahun. Itulah sebabnya, kuburan La Panaungi telah banyak diziarahi pengikutnya setiap saat. Sekitar Tahun 1964-1965, terjadi Operasi Mappakaira yang dipimpin oleh Mayor Asap Marwan, yang bertujuan untuk menghentikan tradisi masyarakat To Lotang. Operasi ini dilakukan atas permintaan kaum legislatif (DPRD) waktu itu, oleh karena ajaran To Lotang tidak diakui sebagai agama yang berhak berkembang dan To Lotang diakui hanya sebagai kebudayaan. Operasi Makkaira membuat sebagian masyarakat To Lotang masuk Islam dan sebagian lainnya tetap menjalankan tradisi nenek moyang, walaupun dengan cara sembunyi-sembunyi.
Ajaran Tolotang bertumpu pada 5 (lima) keyakinan, yakni :
  1. Percaya adanya Dewata SeuwaE, yaitu keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa
  2. Percaya adanya hari kiamat yang menandai berakhirnya kehidupan di dunia
  3. Percaya adanya hari kemudian, yakni dunia kedua setelah terjadinya kiamat
  4. Percaya adanya penerima wahyu dari Tuhan
  5. Percaya kepada Lontara sebagai kitab suci Penyembahan To Lotang kepada Dewata SeuwaE berupa penyembahan kepada batu-batuan, sumur dan kuburan nenek moyang.
Dalam masyarakat Tolotang terdapat 2 (dua) kelompok, yaitu Kelompok Benteng dan Kelompok To Wani To Lotang. Kedua kelompok ini memiliki tradisi yang berbeda dalam beberapa prosesi, misalnya dalam prosesi kematian dan pesta pernikahan. Bagi Kelompok Benteng, tata cara prosesi pernikahan dan kematian sama dengan tata cara dalam agama Islam. Sedangkan tata cara kematian kelompok To Wani To Lotang berupa pemandian jenazah yang kemudian dibungkus dan dilapisi dengan menggunakan daun Sirih. Untuk prosesi pernikahan Kelompok To Wani To Lotang dilaksanakan di hadapan Uwatta, yakni pemimpin ritual yang masih merupakan keturunan langsung dari pendiri To Wani To Lotang. Bagi Kelompok To Wani To Lotang, ritual Sipulung yang dilaksanakan sekali dalam setahun mengambil tempat di Perrynyameng yang merupakan lokasi kuburan I Pabbere. Pada waktu tersebut masyarakat To Wani To Lotang membawa sesajian berupa nasi dan lauk pauk yang diyakini merupakan bekal di hari kemudian. Dimana semakin banyak sesajian yang dibawa, maka semakin banyak pula bekal yang akan dinikmati di hari kemudian.
Bagi Kelompok Benteng, ritual Sipulung dilaksanakan di sumur PakkawaruE, dimana pada siang hari masyarakat berkumpul di kediaman Uwatta dan barulah pada malam hari melaksanakan prosesi Sipulung. Prosesi Sipulung berupa pembacaan lontaraq oleh Uwatta, dimana masyarakat yang hadir pada saat itu memberikan daun Sirih dan Pinang kepada Uwatta. Upacara Adat To Lotang dilakukan oleh masyarakat To Lotang yang dilaksanakan di Bulu (Gunung) Lowa, berada di poros Kota Pangakajene dengan Kota Soppeng dan terletak di Amparita Kecamatan Tellu Limpoe. Daerah ini merupakan lokasi upacara adat Perrynyameng. Ritual tersebut dilakukan sekali setahun (Bulan Januari), dengan waktu pelaksanaan harus dimusyawarahkan oleh tokoh-tokoh (Uwa) Tolotang. Ritual adat dilaksanakan karena adanya pesan dari Perrinyameng. Apabila telah menghembuskan napas terakhirnya maka anak cucunya harus datang menziarahinya sekali setahun. Penyiraman minyak bau (berbau harum) oleh Uwa, atraksi Massempe (permainan adu kekuatan kaki). Semua pengikut sealiran dari berbagai desa/kota berkumpul dengan berpakaian serba putih-putih, sarung dan tutup kepala (kopiah hitam) untuk para laki-laki, sedangkan untuk perempuan mengenakan pakaian seperti kebaya. Pada saat ritual upacara, mereka duduk bersila di atas tikar tradisional dengan penuh hikmat dan keheningan serta konsentrasi pemusatan jiwa dan raga kepada sang pencipta (Dewata SeuwaE). Selanjutnya dilanjutkan dengan penyembahan oleh Uwa, ditandai dengan penyiraman minyak bau (minyak berbau wangi-wangian) pada batu leluhur yang sangat disakralkan, kemudian dilanjutkan kegiatan Massempe. Jarak lokasi upacara adat dengan Kota Pangkajene sebagai ibukota kabupaten sekitar 7 Km. Dalam konteks budaya To Lotang, mereka sangat menghormati makam tua Pammasetau. Makam Tua Pammasetau merupakan makam bagi ummat kepercayaan To Lotang yang dijadikan sebagai tempat ritual dan penyembelihan hewan untuk maksud-maksud tertentu (nazar). Pada umumnya kuburan yang ada batu nisannya masih berupa batu alami (batu sungai) yang bentuknya besar-besar. Makam ini terletak di Desa Cenrana Kecamatan Panca Lautang. Jarak dari Kota Pangkajene sekitar 28 Km dan untuk sampai ke lokasi makam telah dibangun jalan pengerasan dari jalan poros Kota Pangkajene dengan Kota Soppeng. Untuk sampai ke lokasi makam dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas kunjungan dan komentarnya... anda puas saya lemas......

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...